Al-Fārābi, nama lengkapnya Abu Nashr Muhammad ibn Muhammad ibn Tharkhan ibn Auzalagh al-Farabi, lahir di Wasij, sebuah dusun kecil di distrik kota Farab, propinsi Transoxiana, Turkestan, tahun 257 H/ 870 M. Ayahnya seorang pejabat tinggi militer dikalangan dinas ketentaraan dinasti Samaniyah yang menguasai sebagian besar wilayah Transoxiana, propinsi otonom dalam kekhalifahan Abbasiyah, sehingga al-Farabi dipastikan termasuk keluarga bangsawan yang mempunyai kemudahan fasilitas.
Pendidikan dasar dan masa remaja al-Farabi dijalani di Farab, sebuah kota yang sebagian besar penduduknya mengikuti fiqh madzhab Syafi’i. Di sini ia mempelajari tata bahasa, kesusastraan, ilmu-ilmu agama (khususnya fiqh, tafsir dan ilmu hadis) dan aritmatika dasar di samping al-Qur’an. Berkat kecerdasan yang digambarkan sebagai “kecerdasan istimewa dan bakat besar”, al-Farabi berhasil menguasai hampir setiap subjek ilmu pengetahuan yang dipelajari. Setelah itu ia pindah ke Bukhara untuk menempuh studi lanjut fiqh dan ilmu-ilmu agama lainnya. Saat itu, Bukhara merupakan ibu kota dan pusat intelektual serta religius dinasti Samaniyah. Menurut Ibn Abu Usaibi`ah, di Bukhara ini, al-Farabi sempat menjadi hakim (qâdli) setelah menyelesaikan studi ilmu-ilmu religiusnya. Akan tetapi, jabatan tersebut segera ditinggalkan ketika mengetahui ada seorang guru yang mengajarkan ilmu-imu filosofis; sebuah ilmu yang dasar-dasarnya telah dikenal baik sebelumnya lewat studi teologi (kalâm) dan ushûl al-fiqh (prinsip-prinsip yurisprudensi), dan segera ia tenggelam dalam kesibukan mempelajari ilmu tersebut.
Sekitar tahun 922 M, al-Farabi pindah ke Baghdad untuk lebih mendalami filsafat. Di sini ia belajar logika dan filsafat kepada Matta ibn Yunus (w. 939 M) dan terutama Ibn Hailan (w. 932 M), seorang tokoh filsafat aliran Aleksandria yang sekaligus mengajak al-Farabi pergi ke Konstantinopel dan tinggal di sana selama 8 tahun guna lebih mendalami filsafat. Sepulang dari Konstantin, al-Farabi mencurahkan diri dalam belajar, mengajar dan menulis filsafat. Ia menjauhkan diri dari pertikaian politik serta konflik-konflik religius dan sektarian yang menimpa Baghdad selama akhir periode ini. Satu-satunya kontak dengan tokoh istana adalah dengan perdana menteri yang melindungi pemikiran filsafat, seperti Ibn al-Furat, `Ali ibn `Isa dan Ibn Muqlah.
Selanjutnya, ketika situasi politik di Baghdad memburuk, pada tahun 942 M, al-Farabi pindah ke Damaskus yang saat itu dikuasai dinasti Ikhsidiyah. Namun, tiga tahun kemudian ia pergi ke Mesir karena terjadi konflik politik antara dinasti Ikhsidiyah dengan Hamdaniyah di mana Aleppo dan Damaskus diduduki pasukan Hamdaniyah. Beberapa tahun di Mesir, al-Farabi kembali ke Damaskus, tahun 949 M, kemudian ke Aleppo memenuhi undangan Saif al-Daulah, putra mahkota dinasti Hamdaniyah untuk ikut dalam lingkaran diskusi orang-orang terpelajar. Dalam diskusi yang melibatkan penyair-penyair terkenal seperti al-Mutanabbi (w. 965 M), Abu Firas (w. 968 M), Abu al-Faraj (w. 968 M) dan ahli tata bahasa Ibn Khalawaih (w. 980 M), al-Farabi tampil mengesankan berkat kemampuannya menguasai beberapa bahasa, penguasaan ilmu-ilmu filosofis dan bakat musiknya. Ia sangat dihormati oleh pelindungnya dan menghabiskan sisa umurnya sebagai penasehat negara.
Al-Farabi meninggal di Damaskus, bulan Rajab 339 H/ Desember 950 M pada usia 80 tahun dan dimakamkan di pekuburan yang terletak di luar gerbang kecil (al-bâb al-shaghîr) kota bagian selatan. Saif al-Daulah sendiri yang memimpin upacara pemakaman al-Farabi, seorang sarjana pertama sekaligus paling terkenal dari “lingkaran Saif al-Daulah
Ajaran Filsafat Al-Farabi Tentang Emanasi
Dalam penciptaan alam menurut al-Farabi, Tuhan tidak mencipta alam, akan tetapi ia sebagai penggerak pertama dari segala yang ada. Dengan pemikiran ini, al-Farabi mencoba menjelaskan "bagaimana yang banyak bisa timbul dari Yang Satu" ( كيفية خروج الكثرة عن الواحد البسيط ). Tuhan bersifat Maha Satu, tidak berobah, jauh dari arti banyak, Maha sempurna, dan tidak berhajat pada apapun. Kalau demikian hakekat sifat Tuhan, bagaimana terjadinya alam materi yang banyak ini dari yang Maha Satu? dengan alasan inilah al-Farabi memaksakan pemikirannya dengan menyatakan bahwa alam ini muncul dari Allah dengan jalan emanasi atau pemancaran (ان العالم قد نشاْ عن الله عن طريق الفيض ( . Tuhan sebagai akal, berfikir tentang diri-Nya, dan dari pemikiran ini timbul suatu maujud lain, Tuhan merupakan wujud pertama (الوجود الاول) dan dengan pemikiran itu timbul wujud kedua (الوجود الثاني) yang juga mempunyai substansi. Dalam teori emanasi ini Tuhan dilukiskan sebagai yang sama sekali Esa dan karenanya tidak bisa didefinisikan. Menurutnya, definisi hanya akan menisbatkan batasan dan susunan kepada Tuhan yang itu mustahil bagi-Nya. Tuhan itu adalah substansi yang azali, akal murni yang berfikir dan sekaligus difikirkan. Ia adalah aql, aqil dan ma’qul sekaligus
Karena pemikiran Tuhan tentang diri-Nya merupakan daya yang dahsyat, maka daya itu menciptakan sesuatu. Yang diciptakan pemikiran Tuhan tentang diri-Nya itu adalah Akal I. Jadi, Yang Maha Esa menciptakan yang Esa. Dalam diri Akal I inilah mulai terdapat arti banyak. Obyek pemikiran Akal I adalah Tuhan dan dirinya sendiri.
Filsafat Jiwa Manusia Al-Farabi
Al-Farabi membagi jiwa menjadi tiga bagian:
1. Jiwa tumbuh-tumbuhan yang mempunyai daya makan, tumbuh dan berkembang biak.
2. Jiwa binatang yang mempunyai daya gerak, pindah dari satu tempat ke tempat, dan daya menangkap dengan panca indra.
3. Jiwa manusia, yang mempunyai hanya satu daya, yaitu berfikir yang disebut akal. Akal terbagi dua: a. Akal praktis, yang menerima arti-arti yang berasal dari materi melalui indra pengingat yang ada dalam jiwa binatang. b. Akal teoritis, yang menangkap arti-arti murni, yang tak pernah ada dalam materi seperti Tuhan, roh dan malaikat.
2. Jiwa binatang yang mempunyai daya gerak, pindah dari satu tempat ke tempat, dan daya menangkap dengan panca indra.
3. Jiwa manusia, yang mempunyai hanya satu daya, yaitu berfikir yang disebut akal. Akal terbagi dua: a. Akal praktis, yang menerima arti-arti yang berasal dari materi melalui indra pengingat yang ada dalam jiwa binatang. b. Akal teoritis, yang menangkap arti-arti murni, yang tak pernah ada dalam materi seperti Tuhan, roh dan malaikat.
Al-Farabi menjelaskan bahwa manusia mempunyai lima kemampuan atau daya. Pertama, kemampuan untuk tumbuh yang disebut daya vegetatif (القوة الغاذية) sehingga memungkinkan manusia berkembang menjadi besar dan dewasa. Kedua, daya mengindera (القوة الحاسة), sehingga memungkinkan manusia dapat menerima rangsangan seperti panas, dingin dan lainnya. Daya ini membuat manusia mampu mengecap, membau, mendengar dan melihat warna serta objek-objek penglihatan lain. Ketiga, daya imajinasi (القوة المتخيلة) sehingga memungkinkan manusia masih tetap mempunyai kesan atas apa yang dirasakan meski objek tersebut telah tidak ada lagi dalam jangkauan indera. Daya ini juga mempunyai kemampuan untuk menggabungkan atau memisahkan kesan-kesan yang diterima dari indera sehingga menghasilkan kombinasi atau potongan-potongan. Hasilnya bisa benar atau salah. Keempat, daya berpikir (القوة الناطقة) yang memungkinkan manusia untuk memahami berbagai pengertian sehingga dapat membedakan antara yang satu dengan lainnya, kemampuan untuk menguasai ilmu dan seni. Kelima, daya rasa (القوة التروعية), yang membuat manusia mempunyai kesan dari apa yang dirasakan: suka atau tidak suka.
Pengetahuan manusia, menurut al-Farabi, diperoleh lewat tiga daya yang dimiliki, yaitu daya indera (القوة الحاسة), daya imajinasi (القوة المتخيلة) dan daya pikir (القوة الناطقة), yang masing-masing disebut sebagai indera eksternal, indera internal dan intelek. Tiga macam indera ini merupakan sarana utama dalam pencapaian keilmuan.
"Konsep psikologi" al-Farabi, jika diistilahkan demikian, sungguh sangat modern dan “manusiawi”. Menurutnya, manusia tidak hanya merangkum potensi-potensi tumbuhan (vegetatif) dan binatang (animal) sehingga ia dapat tumbuh dan berkembang, tetapi yang terpenting adalah potensi-potensi nalar (rasional). Lebih dari itu, manusia juga mempunyai potensi intelek ( العقل الكلي ) sehingga mampu melepaskan diri dari kungkungan dunia material untuk selanjutnya menjangkau realitas-realitas metafisis non-material. Bahkan, intelek ini pulalah yang mampu mengantarkan manusia “bertemu” dengan Tuhannya. Disinilah nilai utama seorang manusia dibanding makhluk lain
Hakekat Manusia Menurut Al-Farabi
Manusia adalah makhluk terakhir dan termulia yang lahir di atas bumi ini. Ia terdiri atas dua unsur, yaitu jasad dan jiwa. Jasad berasal dari alam ciptaan dan jiwa berasal dari alam perintah. Berdasarkan perbedaan asal antara jiwa dan badan, jelaslah bahwa jiwa merupakan unsur yang lebih penting dan lebih berperan daripada jasad, sehingga Al Farabi, seperti halnya filsuf Yunani, lebih banyak perhatiannya dalam membahas hal-hal yang berkaitan dengan jiwa, yang dianggap sebagai hakikat manusia. Menurut Al Farabi, kesatuan antara jiwa dan jasad merupakan kesatuan accident. Ini berarti keduanya mempunyai substansi yang berbeda dan tidak esensial sehingga binasanya jasad tidak membawa binasanya jiwa.
Refrensi : https://id.wikipedia.org/wiki/Al-Farabi
http://www.kompasiana.com/honey95t/pandangan-filsuf-islam-tentang-filsafat-manusia_54f9984ea333110c568b46d4