Selasa, 24 Mei 2016

Auguste Comte

AUGUSTE COMTE
Auguste Comte lahir di Montpellier, Perancis, pada 17 Januari 1798 dan meninggal dunia pada usia 59 tahun pada 5 September 1857. Nama aslinya Isidore Marie Auguste Comte, ia berasal dari keluarga bangsawan Katholik. 
.RIWAYAT HIDUP COMTE 
August Comte dilahirkan pada 1798 di Montpellier, Prancis. Pada umur belasan tahun ia menolak beberapa adat kebiasan dari keluarganya yang katholik orthodox, yaitu kesalehan dalam agama dan dukungan terhadap bangsawan. Ia belajar disekolah politeknik di Paris dan menerima pelajaran ilmu pasti. Sesudah menyelesaikan sekolahnya ia mempelajari biologi dan sejarah, dan mencari nafkah dengan memberikan les matematika. Comte bekerja sama dengan Saint Simon untuk beberapa tahun, tetapi kemudian berselisih faham dan Comte bekerja secara mandiri. Comte berusaha untuk memperoleh gelar professor tetapi tidak berhasil. PENGERTIAN POSITIVISME Positivisme diturunkan dari kata positif, filsafat ini berpangkal dari apa yang telah diketahui, yang factual, yang positif. Positivism hanya membatasi diri pada apa yang tampak, segala gejala. Dengan demikian positivisme mengesampingkan metafisika karena metafisika bukan sesuatu yang real, yang tidak dapat dibuktikan secara empiris dan tidak dapat dibuktikan. Positivisme merupakan bentuk lain dari empirisme, yang mana keduanya mengedepankan pengalaman. Yang menjadi perbedaan antara keduanya adalah bahwa positivisme hanya membatasi diri pada pengalaman-pengalaman yang objektif, tetapi empirisme menerima juga pengalaman-pengalaman yang bersifat batiniah atau pengalaman-pengalaman subjektif. TAHAP-TAHAP PEMIKIRAN MANUSIA Menurut Comte perkembangan pemikiran manusia terdiri atas tiga Tahap yaitu Tahap Teologik, lalu meningkat ketahap metafisik, kemudian mencapai tahap akhir yaitu tahap positif. 
1. TAHAP TEOLOGIK 
Tahap teologik bersifat antropomorfik atau melekatkan manusia kepada selain manusia seperti alam atau apa yang ada dibaliknya. Pada zaman ini atau tahap ini seseorang mengarahkan rohnya pada hakikat batiniah segala sesuatu, kepada sebab pertama, dan tujuan terahir segala sesuatu. Menurutnya benda-benda pada zaman ini merupakan ungkapan dari supernaturalisme, bermula dari fetish yaitu suatu faham yang mempercayai adanya kekuatan magis dibenda-benda tertentu, ini adalah tahap teologis yang palin primitif. kemudian polyteisme atau mempercayai pada banyak Tuhan, saat itu orang menurunkan hal-hal tertentu seluruhnya masing-masing diturunkannya dari suatu kekuatan adikodrati, yang melatar belakanginya, sedemikian rupa, sehingga tiap kawasan gejala-gejala memiliki dewa-dewanya sendiri. Dan kemudian menjadi monoteisme ini adalah suatu tahap tertinggi yang mana saat itu manusia menyatukan Tuhan-Tuhannya menjadi satu tokoh tertinggi. Ini adalah abad monarkhi dan kekuasaan mutlak. Ini menurutnya adalah abad kekanak-kanakan.
 2. TAHAP METAFISIK

 Tahap metafisik sebenarnya hanya mewujudkan suatu perubahan saja dari zaman teologik, karena ketika zaman teologik manusia hanya mempercayai suatu doktrin tanpa mempertanyakannya, hanya doktrin yang dipercayai. Dan ketika manusia mencapai tahap metafisika ia mulai mempertanyaan dan mencoba mencari bukti-bukti yang meyakinkannya tentang sesuatu dibalik fisik. Tahap metafisik menggantikan kekuatan-kekuatan abstrak atau entitas-entitas dengan manusia. Ini adalah abad nasionalisme dan kedaulatan umum, atau abad remaja.
 3. TAHAP POSITIF 
Tahap positif berusaha untuk menemukan hubungan seragam dalam gejala. Pada zaman ini seseorang tahu bahwa tiada gunanya untuk mempertanyakan atau pengetahuan yang mutlak, baik secara teologis ataupun secara metafisika. Orang tidak mau lagi menemukan asal muasal dan tujuan akhir alam semesta, atau melacak hakikat yang sejati dari segala sesuatu dan dibalik sesuatu. Pada zaman ini orang berusaha untuk menemukan hukum segala sesuatu dari berbagi eksperimen yang akhirnya menghasilan fakta-fakta ilmiah, terbukti dan dapat dipertanggung jawabkan. Pada zaman ini menerangkan berarti: fakta-fakta yang khusus dihubungkan dengan suatu fakta umum. Segala gejala telah dapat disusun dari suatu fakta yang umum saja. 3 zaman atau 3 tahap ini menurut Comte bukanlah suatu zaman yang berlaku bagi perkembangan rohani manusia tetapi juga berlaku bagi perkembangan rohani seluruh umat manusia, bahkan berlaku bagi perorangan, ketika muda ia seorang metafisikus dan ketika dewasa ia menjadi seorang fisikus. Ketika seorang masih perpandangan metafisikus ataupun teologis berarti ia masih berfikiran primitif walaupun ia hidup dizaman yang modern. Dan ketika orang berfikiran fisikus maka ia adalah seorang yang modern dimana pun ia berada. 
Pendapat ini didasarkan pada kecendrungan pernyataannya yang lebih menjurus kepada tahap dalam keyakinan manusia dari pada tahap zaman manusia. Selain itu tahap dalam 3 zaman ini bukan hanya berlaku dalam hal itu saja tetapi juga bias terjadi dalam ilmu pengetahuan itu sendiri. Yang asal mulanya ketika ilmu pengetahuan masih dikuasai oleh pengertian-pengertian teologis, sesudah itu dikeruhkan oleh pemikiran-pemikiran metafisis hingga akhirnya tiba pada zaman positif yang cerah yang mana meninggalkan bahkan melepaskan dari keberadaan unsur-unsur teologis dan metafisika. Oleh karena itu baginya Teologi dan filsafat barat abad tengah merupakan pemikiran primitive. Karena masih pada taraf pertanyaan tentang teologi dan metafisis. Baginya manusia tidak dapat mengetahui hakikat dari segala sesuatu, tetapi manusia dapat mengetahui keadaan-keadaan yang mempengaruhi terjadinya peristiwa. Pengetahuan positivisme mengandung arti sebagai pengetahuan yang nyata (real), berguna (useful), tertentu (certain) dan pasti (extact). Kaidah kaidah alam tidak pernah disederhanakan menjadi satu kaidah tunggal dan kaidah itu terdiri dari perbedaan-perbedaan. Akal dan ilmu menurutnya harus saling dihubungkan karena ilmu yang menurutnya cerapan dari sesuatu yang positif tetaplah harus memakai akal dalam pembandingannya, dan etika dianggap tinggi dalam hirarki ilmu-ilmu.

refrensi : http://www.kompasiana.com/raiyenryan/auguste-comte_552e0fa16ea834952c8b45b7

Minggu, 08 Mei 2016

KEHENDAK BERKUASA NIETZSCHE

FILSUF FRIEDRICH NIETZSCHE 


Nietzsche adalah anak dari Darwin dan mempunyai saudara laki-laki yang bernama Bismarck. Nietzsche adalah seorang filsuf yang sering mencemooh para revolusionis Inggris dan para nasionalis Jerman. Ia juga seorang filsuf yang selama hidupnya selalu menabuh genderang peperngan.
            Filsafat etika dikembangkan oleh Nietzsche berdasarkan teori evolusi. Bagi Nietzsche, hidup adalah perjuangan untuk bereksistensi dimana organisme yang paling pantas untuk hiduplah yang berhak dapat terus melangsungkan kehidupannya. Kekuatan disebut sebagai kebajikan yang utama, sedangkan kelemahan sebagai keterpurukan yang dianggap memalukan. Menurut Nietzsche, yang baik adalah yang mampu melangsungkan kehidupan, berjaya dan menjadi seorang pemenang. Yang buruk adalah yang tidak dapat bertahan, terpuruk dan kalah didalam kehidupan.
            Bagi Nietzsche, hidup adalah tempat seluruh makhluk hidup bertarung agar dapat terus bertahan dan melangsungkan hidupnya. Di dalam pertarungan yang kita sebut dengan kehidupan tidak memerlukan kebaikan, melainkan kekuatan. Kerendahan hati bukanlah sikap yang dibutuhkan, tetapi harus mempunyai kebanggan diri dan kecerdasan yang sangat tajam. Hukum kehidupan yang sebenarnya adalah hukum yang dibuat oleh alam, bukan hukum yang dibuat oleh manusia. Yang berarti, perbedaan dan nasib hidup mahluk hidup ditentukan oleh seleksi alam, kelangsungan hidup dan kekuasaan yang dimiliki.

            Jika pemikiran tersebut benar, maka tidak ada manusia yang lebih bermakna dan hebat seperti Bismarck, seorang manusia yang jujur dan mengetahui secara pasti mengenai kenyataan hidup. Tidak ada seorangpun yang memiliki keberanian seperti Darwin dan Bismarck, karena pemikiran mereka berbenturan dengan common sense dan kemanusiaan. Akan tetapi, Nietzsche memiliki keberanian yang lebih hebat melebihi kedua tokoh tersebut. Ia membangun filsafat yang mengembangkan, membenarkan pemikiran dan tindakan mereka serta menarik konsekuensi-konsekuensi yang jauh lebih luas sehingga berbenturan secara keras, bukan hanya dengan common sense dan kemanusiaan, tetapi juga secara langsung dan terang-terangan berbenturan dengan agama.

MANUSIA DAN KEHENDAK BERKUASA

Konsep kehendak untuk berkuasa Nietzsche adalah salah satu konsep yang bisa dikategorikan sebagai pemikir naturalistik (naturalistic thinker), yakni yang melihat manusia tidak lebih dari sekedar insting-insting alamiahnya (natural instincts) yang mirip dengan hewan, maupun mahluk hidup lainnya. Nietzsche dengan jelas menyatakan penolakannya pada berbagai konsep filsafat tradisional, seperti kehendak bebas (free will), substansi (substance), kesatuan, jiwa, dan sebagainya. Ia mengajak kita memandang diri kita sendiri sebagai manusia dengan cara-cara baru.
Ada tiga konsep dasar yang mewarnai seluruh pemikiran Nietzsche, yakni :
1 penerimaan total pada kontradiksi hidup
2 proses transendensi insting-insting alamiah manusia
3 cara memandang realitas yang menyeluruh (wholism)
Pemikiran tentang kehendak juga memiliki pengertian dasar tentang kehendak untuk berkuasa, berdasarkan fragmennya antara lain :
- Kehendak untuk berkuasa sebagai abstraksi dari realitas.
- sebagai aspek terdalam sekaligus tertinggi dari realitas (the nature of reality)
-sebagai realitas itu sendiri apa adanya (reality as such)

Ketiga makna itu bisa disingkat dalam rumusan berikut, sebagai berikut "hakekat terdalam dari alam semesta beserta dengan geraknya yang dilihat dari sisinya yang paling gelap" Nietzsche melihat realitas satu unsur terdalam (fundamental aspect) yang menentukan segalanya. Unsur terdalam itulah yang disebutnya sebagai kehendak untuk berkuasa.  Dorongan ini tidak dapat ditahan, apalagi dimusnahkan, karena segala sesuatu yang ada berasal dari padanya. Seluruh realitas dan segala yang ada di dalamnya adalah ledakan sekaligus bentuk lain dari kehendak untuk berkuasa. Kehendak untuk berkuasa adalah dorongan yang mempengaruhi sekaligus membentuk apapun yang ada, sekaligus merupakan hasil dari semua proses-proses realitas itu sendiri. Semua ini terjadi tanpa ada satu sosok yang disebut sebagai pencipta, atau subyek agung. Semua ini adalah gerak realitas itu sendiri yang berjalan mekanis, tanpa pencipta dan tanpa arah. Dunia adalah sesuatu yang hampa, dan tak memiliki pencipta, namun bisa hadir dan berkembang dengan kekuatannya sendiri. Di dalam dunia semacam ini, tidak ada pengetahuan obyektif dan untuk memperoleh pengetahuan hanya memerlukan subyektivitas (subjectivity) dan kemampuan untuk menafsir (interpretation). Dua hal ini menurut Nietzsche lahir dari kehendak untuk berkuasa itu sendiri. Dengan subyektivitas dan kemampuan untuk menafsir, manusia bisa melihat hubungan sebab akibat (causality) di dalam dunia. Dengan dua kemampuan ini, manusia bisa menempatkan diri, sekaligus menempatkan benda-benda yang ada di dalam dunia pada tempat yang semestinya. Kehendak untuk berkuasa mendorong manusia untuk menjadi subyek yang aktif di dalam menjalani hidup, sekaligus menjadi penafsir dunia yang memberi makna (meaning) atasnya. Dengan kehendak untuk berkuasa, manusia bisa menciptakan dan menata dunia. Dalam arti ini dunia adalah tempat yang bukan-manusia (inhuman). Dunia menjadi bermakna karena manusia, dengan subyektivitas serta kemampuannya menafsir, memberinya makna, dan menjadikannya “manusiawi” (human).


Manusia harus belajar melihat alam tidak hanya dari kaca matanya sendiri, dari kaca mata alam, kehidupan ini sendiri adalah kehendak untuk berkuasa. Maka kehendak berkuasa adalah “afirmasi yang penuh suka cita pada hidup itu sendiri.” Hidup memang tak bertujuan dan tak memiliki nilai. Namun manusia diminta untuk menerima dan menikmatinya sepenuh hati. Manusia tidak dipandang sebagai mahluk rasional, melainkan sebagai mahluk yang hidup dengan rasa dan sensasi-sensasi (sensational being) yang diterimanya. Sensasi itu mendorong manusia untuk mencipta dunia (world-creating activity). Pemahaman Nietzsche tentang ini didapatkan dari pola berpikir metafisisnya, bahwa hakekat dari sesuatu bisa dilihat dari efek-efek yang ditimbulkannya, yakni penciptaan. Penciptaan hanya mungkin jika entitas tersebut memiliki kuasa. Pemikiran Nietzsche tentang kehendak untuk berkuasa bukanlah sebuah pandangan dunia yang sistematis (systematic worldview). Cara penjelasan Nietzche berupa mitologis (mythological explanation) yang lebih imajinatif, deskriptif, dan kaya di dalam memahami dunia. Konsep ini lahir dan berkembang, ketika ia membahas pemikiran Schopenhauer, bahwa dunia adalah representasi dari kehendak dan ide manusia (world as will and representation). Schopenhauer melihat dunia sebagai kehendak buta, bersikap pesimis, dan memilih untuk melarikan diri darinya, namun Nietzsche melihat dunia sebagai kehendak untuk berkuasa, bersikap optimis, dan memilih untuk merayakan kehidupan dengan segala kerumitannya, dua sikap tersebut dapat digunakan untuk memahami mentalitas manusia jaman ini di dalam memandang kehidupan. Di tengah kehidupan yang tak selalu jelas, ada orang yang memilih untuk putus asa, dan kemudian bunuh diri, atau melarikan diri dari dunia seperti sikap yang ditunjukkan Schopenhauer. Ada pula orang yang menanggapi semua itu dengan berani, dan bahkan merayakan absurditas kehidupan itu sendiri seperti yang disarankan oleh Nietzsche. Nietzsche ingin membongkar kemunafikan manusia modern yang merindukan dan menghasrati kekuasaan, namun berpura-pura menolaknya karena alasan-alasan moral. Nietzsche mengajak untuk menerima diri kita apa adanya, tidak menolak, atau bahkan mengutuk kekuasaan yang sesungguhnya merupakan dorongan alamiah kita sebagai manusia. Dengan penerimaan semacam ini, kekuasaan tidak lagi menjadi destruktif, tetapi bisa didorong sebagai kekuatan untuk mencipta.

Refrensi : https://id.wikipedia.org/wiki/Friedrich_Nietzsche
www.kompasiana.com/.../pemikiran-friedrich-nietzsche_552c360d6ea83
Buku Kehendak untuk Berkuasa Filsafat Friedrich nietzsche oleh will durrant